(Pertempuran Shiffin, Tahkim, Munculnya Khawarij, Perang Nahrawan, Pembunuhan ‘Ali, dan Amul Jama’ah)
Berupaya Memulai Perundingan
Pasca Pertempuran Jamal, Ali bin Abi Thalib berupaya memulai perundingan dengan Mu’awiyah. ‘Ali mengirim surat yang dibawa Jarir bin ‘Abdullah Al-Bajali yang mengajak Mu’awiyah agar patuh dan bergabung bersama jama’ah yang dipimpin Ali bin Abi Thalib.
Namun, Mu’awiyah dan penduduk Syam bersikeras untuk menuntut balas atas nyawa Utsman, dan siap berperang jika keadaan memaksa. (Tarikh Ath-Thabari, 4: 561 – 562).
Saat itu penduduk Syam berada dalam suasana emosional. Pakaian Utsman dibawa oleh An-Nu’man bin Basyir Al-Anshari ke Syam. Mu’awiyah menghamparkannya di atas mimbar. Potongan jari Na’ilah, istri Utsman, yang putus tertebas pedang saat ia berusaha melindungi Utsman masih ada pada pakaian tersebut. Masyarakat Syam mengerumuni pakaian itu dan menangis. Para lelaki bersumpah tidak akan meniduri istri-istri mereka dan hanya mandi karena mimpi basah saja, juga tidak tidur di atas Kasur sebelum mereka membunuh para pembunuh Utsman.
‘Ali bergerak dari Kufah menuju Syam
Terdengar kabar, ‘Ali bin Abi Thalib telah bergerak dari Kufah menuju Syam. Mengetahui hal itu Mu’awiyah berkonsultasi dengan para penasehatnya, antara lain Amr bin Ash. Mereka menyarankan agar Mu’awiyah memimpin langsung perang sebagai panglima. Maka, mereka pun bergerak.
Kedua kubu mendirikan kamp di dekat Shiffin. Pasukan ‘Ali berjumlah 120.000 orang, sedangkan pasukan Mu’awiyah berjumlah 90.000 orang.
Kedua Pihak Bersikukuh
Sebelum pertempuran meletus, ‘Ali kembali mengirimkan surat kepada Mu’awiyah. Syabts bin Rib’i sempat mengusulkan kepada ‘Ali untuk mengukuhkan Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam. Namun ‘Ali menolak. Sementara Mu’awiyah pun bersikeras mempertahankan sikapnya.
Suasana Semakin Panas
Beberapa delegasi ‘Ali bersikap tidak bijak dan tidak ramah. Mereka berkata kasar kepada Mu’awiyah. Syabts bin Rib’i menuduh Mu’awiyah senang dengan terbunuhnya Utsman sebagai peluang baginya untuk menduduki kursi kekhalifahan. Mu’awiyah pun menanggapi tuduhan itu dengan kasar, “Engkau berkata bohong dan tercela atas semua yang kau tuduhkan itu wahai Arab dusun yang bengis dan kasar! Enyahlah dari hadapanku! Tidak ada pemisah antara aku dan kalian kecuali pedang dan amarah!”
Bentrokan-bentrokan Kecil
‘Ali memerintahkan sekelompok pasukannya bertempur. Mu’awiyah pun memerintahkan sekelompok orang pasukannya untuk menghadapinya. Kemudian masing-masing kembali. Mereka tidak senang jika mempertemukan seluruh pasukan karena khawatir kehancuran total. Kondisi seperti ini berlangsung di sepanjang bulan Dzulhijjah tahun 36 H (658 M). Di bulan Muharram 37 H mereka melakukan gencatan senjata dengan harapan tercapai perdamaian.
Pertempuran Utama Dimulai!
Bulan Muharram berlalu, perdamaian tidak kunjung berhasil. Maka pada hari Rabu 7 Shafar 37 H (25 Juli 657 M), pertempuran pecah selama 3 hari: Rabu, Kamis, dan Jum’at. Saat banyak korban berjatuhan, kedua belah pihak berseru: “Siapa yang akan menjaga benteng-benteng Irak jika penduduk Irak musnah? Siapa yang akan menjaga benteng-benteng Syam, jika penduduk Syam musnah?” Lalu mereka mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur’an pada malam Sabtu dan menyerukan perdamaian.
Korban tewas mencapai 70.000 orang: 40.000 dari pasukan Syam dan 25.000 dari pasukan Irak. (Tarikh Khalifah bin Khayyath, hal. 193-194; Tarikh At-Thabari, 5: 15; Awashim minal Qawashim, Abu Bakar bin Al-Arabi)
Peristiwa At-Tahkim
Berikutnya kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan tahkim. Masing-masing menentukan perwakilan. Mu’awiyah menunjuk Amr bin Ash. Sementara ‘Ali menunjuk Abdullah bin Abbas atau Al-Asytar An-Nakha’i, tetapi beberapa perwiranya menolak. Maka ditetapkanlah Abu Musa Al-Asy’ari.
Dalam tahkim itu diputuskan untuk mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dari jabatannya, lalu urusan kekhalifahan diserahkan kepada umat untuk memilih siapa yang dikehendaki. Awalnya Amr bin Ash mengajukan Abdullah bin ‘Amr atau Mu’awiyah sebagai calon Khalifah, sedangkan Abu Musa Al-Asy’ari mengajukan Abdullah bin Umar.
Prof. DR. Abdus Syafi Muhammad Abdu Lathif mengatakan bahwa peristiwa tahkim ini masih menyisakan tanda tanya karena tidak menyentuh substansi masalah secara langsung.
Berkenaan dengan tahkim ini ada riwayat yang banyak beredar bersumber dari Abu Mukhannaf (sejarawan Syi’ah). Riwayat tersebut menyebutkan ‘kelicikan’ Amr bin Ash yang menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Padahal, menurut Syaikh Muhibbudin Al-Khatib dalam tahkim itu kedua hakam bersepakat menyerahkan urusan kepemimpinan kepada para sahabat senior. Adapun administrasi daerah dipegang masing-masing tokoh seperti sedia kala. ‘Ali diberi wewenang memerintah Irak dan Mu’awiyah diberi wewenang memerintah Syam.
Sikap ‘Ali terhadap Hasil Tahkim
‘Ali menolak hasil tahkim. Akibatnya, permasalahan kembali ke kondisi semula, yakni status perang antara ‘Ali dan Mu’awiyah. ‘Ali menyeru pendukungnya untuk kembali memerangi Mu’awiyah untuk memaksanya patuh. Namun para pendukungnya enggan berperang, mereka tidak mau berperang melawan Mu’awiyah. Selanjutnya ‘Ali disibukkan untuk memerangi kaum Khawarij yang memisahkan diri dari pasukannya. Orang-orang khawarij ini sejak awal selalu tidak menyetujui pendapat ‘Ali. Mereka pun selalu ingin tahu segala rahasia dan ingin ikut campur dalam urusan besar maupun kecil.
Pasca peristiwa tahkim, pendukung ‘Ali terbagi menjadi dua kubu:
- Mereka yang menganggap tahkim sebagai aib, mereka itulah kaum Khawarij.
- Mereka yang setia kepada ‘Ali bin Abi Thalib.
Khawarij berkumpul di Harura
Seusai pertempuran Shiffin, di sepanjang jalan pulang menuju Kufah pasukan ‘Ali berselisih, saling dorong, saling caci, dan saling pukul. Akhirnya, sekitar 12.000 orang dari pasukan Ali ini berbelok ke arah Harura dan mengumumkan pembangkangan kepada ‘Ali bin Abi Thalib, bahkan mendirikan pemerintahan sendiri dan mengangkat Syabts bin Rabi’ At-Tamimi sebagai panglima perang dan ‘Abdullah bin Al-Kawa’ Al-Yassykuri sebagai imam shalat.
Ketika didatangi ‘Ali bin Abi Thalib, mereka menuntut kepada ‘Ali agar bertaubat dari kekafiran karena telah melakukan tahkim. Mereka bukan hanya menentang ‘Ali, namun juga menyatakan permusuhan terhadap seluruh umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Khawarij menganggap orang yang tidak sependapat dengan mereka sebagai orang kafir yang halal darah dan hartanya.
Mereka tega menyembelih Abdullah bin Khabbab bin Al-Aratt dan membunuh istrinya yang sedang mengandung. Padahal yang dilakukannya hanyalah bersimpati pada Utsman dan ‘Ali. Mereka juga membunuh tiga orang perempuan dari Tayyi’ dan seorang perempuan lain yang bernama Ummu Sinan Ash-Shaidawiyah. Mereka mendakwa bahwa apa yang dilakukannya sebagai bentuk kemarahan karena Allah dan amar ma’ruf nahi munkar.
Mereka bodoh tentang agama. Bukti dari kebodohannya itu adalah seusai membunuh Abdullah bin Khabbab, mereka pernah membunuh babi milik orang Nasrani, lalu ‘sadar’ atas kekeliruannya itu dan meminta maaf dan kerelaan Nasrani pemilik babi itu. Mereka menyesal telah membunuh babi milik orang nasrani, karena dianggapnya sebagai perbuatan menyelisihi nilai syariat, tapi tidak menyesal membunuh Abdullah bin Khabbab karena dianggapnya telah kafir.
Perang Nahrawan
Saat mendengar kabar tentang tindakan biadab kaum khawarij tersebut, Ali bin Abi Thalib segera mengutus Al-Harits bin Murrah Al-Abdi untuk memastikan kebenarannya. Namun Khawarij malah membunuh Al-Harits (Tarikh At-Thabari, 5: 82; Al-Kamil fit Tarikh, 3: 32, Ibnul Atsir).
‘Ali bin Abi Thalib mengrimkan delegasi agar Khawarij menyerahkan para pembunuh Abdullah bin Khabbab dan istrinya serta beberapa perempuan diserahkan, tapi mereka malah semakin menantang, “Adalah kami semua yang membunuh mereka. Kami semua menghalalkan darah mereka dan darah kalian!”
Sebelum peperangan, ‘Ali memerintahkan agar Abu Ayyub Al-Anshari membawa panji dan berseru, “Barangsiapa menuju panji ini maka ia aman! Barangsiapa memasuki Kufah maka ia aman! Dan barangsiapa pergi ke Al-Mada’in maka ia aman!”
Seruan itu berhasil menarik sebagian kaum Khawarij sehingga tersisa 2.000 orang saja. Lalu terjadilah pertempuran di Nahrawan, sehingga kebanyakan kaum Khawarij tewas, dan tersisa hanya segelintir orang. (Tharikh Khalifah bin Khayyath, hal. 197; Tarikh At-Thabari, 5: 85-87; Al-Kamil fit Tarikh Ibnul Atsir, 3: 345-346)
Kelemahan Pendukung ‘Ali
Pasca perang Nahrawan, ‘Ali mengajak para pendukungnya untuk menuju Syam menyerang Mu’awiyah. Namun para pendukungnya tersebut merasa enggan, mereka berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, anak panah kami habis, pedang kami tumpul, mata tombak kami memudar. Karena itulah marilah kita pulang ke negeri kita (Kufah) untuk melakukan persiapan sebaik-baiknya….” (Tarikh At-Thabari, 5: 89; Al-Kamil fit Tarikh Ibnul Atsir, 3: 349)
Mereka diam-diam pulang meninggalkan pangkalan militer dan pulang ke rumah masing-masing tanpa seizin ‘Ali bin Abi Thalib. Maka ‘Ali pun pulang ke Kufah dengan lesu (Tarikh At-Thabari, 5: 90; Al-Kamil fit Tarikh Ibnul Atsir, 3: 349)
Pidato Kekecewaan ‘Ali bin Abi Thalib
“Kalian tidak lain adalah singa yang ganas dalam berkhianat. Namun kalian adalah musang saat diseru berperang. Kalian tidak bisa dipercaya untuk selama-lamanya. Kalian bukanlah kendaraan untuk mencapai tujuan; dan bukan pemilik tekad yang bisa diandalkan. Demi Allah pasukan terburuk dalam perang ini adalah kalian ini. Kalian senantiasa tertipu dan tidak punya tipu daya. Wilayah kalian terus berkurang tetapi kalian malah menghindar. Kalian tidak bisa ditinggal tidur. Kalian senantiasa lalai. Prajurit yang waspada seharusnya cerdas, dan tidak terima dihina kalah!” (Tarikh At-Thabari, 5: 90; Al-Kamil fit Tarikh Ibnul Atsir, 3: 350)
Kondisi Mu’awiyah Pasca Tahkim
Mu’awiyah tetap memerintah Syam tanpa harus bertanggung jawab kepada siapa pun. Ia lebih beruntung dibanding ‘Ali bin Abi Thalib, karena pasukannya yang bersatu, mencintai, mematuhi, dan menjalankan instruksi-instruksinya dengan baik.
‘Ali pernah berkata, “Aku berada di antara pasukan terburuk dan paling membangkang, sedangkan Mu’awiyah berada di antara pasukan terbaik dan paling taat.” Di riwayat lain disebutkan, “Aku berharap seandainya Allah mengganti setiap sepuluh orang dari kalian dengan satu orang Syam.”
Mu’awiyah Menguasai Mesir
Awalnya Mesir berada di bawah kepemimpinan Qais bin Sa’ad.
Disana ia mendapati tiga kelompok:
- Pendukung ‘Ali bin Abi Thalib
- Segelintir pengikut Abdullah bin Saba yang mengatakan, “Kami bersama ‘Ali selama ia tidak mengusik teman-teman kami (pembunuh Utsman).”
- 000 orang yang mengasingkan diri di Kharabata yang berkata, “Apabila ‘Ali melakukan qishash para pembunuh Utsman maka kami bersama kalian.” (Tarikh At-Thabari, 4: 442)
Qais bin Sa’ad memberi masukan kepada ‘Ali bin Abi Thalib agar tidak memaksa orang-orang Kharabata segera berbaiat. ‘Ali didorong untuk berdamai dengan mereka selama tidak melakukan pemberontakan. Qais juga mengabarkan bahwa ia telah menetapkan pajak kepada mereka, dan mereka tidak menolak.
Namun, atas masukan dari Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Ja’far bin Abi Thalib, ‘Ali menolak saran Qais bin Sa’ad dan malah mencurigainya telah menjadi pendukung Mu’awiyah. Saat itu Mu’awiyah memang menyebarkan informasi bahwa Qais adalah bagian dari kelompok Mu’awiyah.
‘Ali memerintahkan Qais untuk memerangi mereka, namun Qais menolak, maka Ali mencopotnya dan menggangkat Al-Asytar An-Nakha’i pada bulan Rajab tahun 37 H. Al-Asytar An-Nakha’i wafat (karena keracunan madu) sebelum sampai ke Mesir, maka ‘Ali menunjuk Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur Mesir pada Ramadhan 37 H. Saat itu Qais berpesan kepada Muhammad bin Abu Bakar agar tidak memerangi penduduk Kharabata, tapi Muhammad bin Abu Bakar malah melakukan yang sebaliknya sehingga timbullah kekacauan.
Mu’awiyah memerintahkan ‘Amr bin Al-Ash bergerak ke Mesir sehingga berhasil menguasainya dengan mudah. Muhammad bin Abu Bakar sendiri terbunuh pada tahun 38 H. (Al-Wulah wal Qudhah, Al-Kindi, hal. 24)
Perluasan Wilayah Kekuasaan Mu’awiyah
Dengan dikuasainya Mesir, perbatasan negeri Syam dari arah selatan dan barat semakin aman. Muawiyah lalu mengirimkan sejumlah besar pasukannya untuk merebut wilayah yang dikuasai Ali bin Abi Thalib di Irak dan Hijaz. Nu’man bin Basyir dikirim ke Ain Tamar membawahi 2.000 personil. Sufyan bin Auf dikirim ke Hit, Al-Anbar, dan Al-Madain beserta 6.000 personil. Abdullah bin Mas’adah Al-Fazari dikirim ke At-Taima dengan 1.600 personil.
Ketika An-Nu’man bin Basyir Al-Anshari melakukan serangan ke Ain At-Tamar, penduduk Irak tidak mematuhi ‘Ali bin Abi Thalib untuk melakukan perlawanan kepada pasukan An-Nu’man.
Kekhalifahan Terbagi Menjadi Dua
Mu’awiyah mengirim Busr bin Abu Artha’ah bersama 3.000 personilnya untuk menguasai Yaman. Dalam perjalanannya menuju Yaman, Madinah (yang dipimpin Abu Ayyub Al-Anshari) dan Makkah berhasil dikuasai. Yaman pun berhasil dikuasai, sementara gubernurnya, Ubaidillah bin Abbas merapat ke Kufah.
‘Ali terpaksa menyepakati gencatan senjata, dan menyerahkan separuh negara Islam kepada Mu’awiyah untuk diperintah secara independen. Padahal sebelumnya Ali bersikeras menolak mengukuhkan Mu’awiyah sebagai gubernur Syam.
Aksi Pembunuhan Kaum Khawarij
Sisa-sisa Khawarij melakukan gerakan bawah tanah. Mereka merencanakan konspirasi untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash, yang mereka sebut sebagai para pemimpin kesesatan.
Petugas eksekusi dari mereka adalah:
- Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi bertugas membunuh ‘Ali bin Abi Thalib.
- Al-Barak bin Abdullah At-Tamimi bertugas membunuh Mu’awiyah.
- Amr bin Bakar At-Tamimi bertugas membunuh Amr bin Ash.
Mereka menyepakati pelaksanaan eksekusinya pada malam 17 Ramadhan 40 H.
Al-Barak bin Abdullah At-Tamimi pergi ke Damaskus, saat Mu’awiyah menunaikan shalat shubuh ia menebaskan pedangnya ke arah Mu’awiyah namun hanya mengenai bagian pantatnya sehingga tidak mematikan. Lalu Al-Barak ditangkap dan dibunuh.
Amr bin Bakar At-Tamimi pergi ke Mesir untuk membunuh Amr bin Ash ketika shalat shubuh, namun saat itu ‘Amr bin Ash sedang sakit, dan yang memimpin shalat shubuh adalah Kharijah bin Hudzafah.
Pembunuhan ‘Ali bin Abi Thalib
Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi pergi ke Kufah, disana ia bertemu dengan perempuan cantik jelita bernama Fitham binti As-Syajnah yang ayah dan saudaranya terbunuh dalam pertempuran Nahrawan. Ibnu Muljam meminangnya, dan Fitham mengajukan syarat antara lain membunuh Ali bin Abi Thalib. Fitham memperbantukan 2 orang untuk mendukung pelaksanaan pembunuhan tersebut.
Ibnu Muljam berhasil menebaskan pedangnya yang telah dilumuri racun mengenai sebagian kepala Ali bin Abi Thalib. ‘Ali memerintahkan agar Ibnu Muljam dipenjara. Dan dihukum mati jika ‘Ali mati, “Apabila aku bertahan hidup, maka aku yang akan memutuskan hukumannya nanti. Wahai Bani Abdul Muthalib, jangan kau kumpulkan orang dari semua arah lalu kalian katakan bahwa Amirul Mu’minin telah dibunuh. Ingatlah, yang boleh dibunuh karena aku hanyalah pembunuhku saja.” (Al-Fakhri, Ibnu Thuqthuqa, hal. 100)
Akhirnya Ali bin Abi Thalib wafat pada 19 Ramadhan 40 H (Selasa, 26 Januari 661 M)
Kekhalifahan Al-Hasan bin Ali
Sebelum ‘Ali wafat, Jundab bin Abdullah sempat bertanya kepada ‘Ali, “Wahai Amirul Mu’minin, apabila kami kehilanganmu, bagaimana jika kami membai’at Al-Hasan?” ‘Ali menjawab, “Aku tidak memerintahkan kalian, tidak pula melarang kalian. Kalianlah yang lebih tahu” (Tarikh At-Thabari, 5: 147 – 148)
Sepeninggal ‘Ali, Al-Hasan dibai’at. Yang pertama kali membaiat adalah Qais bin Sa’ad bin Ubadah.
Al-Hasan Cenderung Pada Perdamaian
Sejak awal Al-Hasan bin Ali telah memberikan saran kepada ayahnya untuk tidak berangkat ke Bashrah menemui Thalhah, Az-Zubair dan Aisyah sebelum pertempuran Jamal karena khawatir pertumpahan darah.
Ia menyadari Mu’awiyah di atas angin, sedangkan penduduk Irak enggan membantu ayahnya.
Kebijaksanaannya terlihat saat ia menyembunyikan kecenderungannya itu dari para penduduk Irak. Ia berpura-pura setuju memerangi Mu’awiyah. Ia menugaskan Qais untuk maju terlebih dahulu beserta 12.000 personil sementara ia berjalan di belakang pasukan.
Mendengar hal itu Muawiyah bergerak bersama pasukannya.
Setibanya Al-Hasan di Mada’in, terdengar kabar bahwa Qais telah terbunuh. Terjadilah kekacauan dalam pasukan Al-Hasan. Penduduk Irak kembali pada karakter asli mereka: tidak teguh pendirian. Mereka malah menyerbu tenda Al-Hasan, menjarah barang-barangnya, hingga karpet milik Al-Hasan pun diambilnya. Bahkan diantara mereka ada yang tega menusuknya hingga terluka.
Buruknya perangai penduduk Irak terlihat dari sikap Al-Mukhtar bin Abu Ubaid bin Mas’ud yang mengajak pamannya, Sa’ad bin Mas’ud (Walikota Mada’in) untuk menyerang Al-Hasan dan menyerahkannya pada Mu’awiyah agar memperoleh jabatan.
Al-Hasan melakukan perundingan dengan Mu’awiyah.
Dalam perundingan itu Al-Hasan menyatakan siap berdamai dengan syarat ia diberi 5.000 dirham dari Baitul Mal Kufah di samping syarat-syarat lainnya. Al-Hasan meminta 5.000 dirham ini untuk dialokasikan bagi: pasukannya yang berjumlah 4.000 personil dan santunan kepada keluarga prajurit yang terbunuh dalam Perang Jamal dan Shiffin.
Atas tindakan bijaknya ini, penduduk Irak malah mencelanya dengan berbagai ungkapan yang jauh dari pribadinya. Mereka berkata kepada Al-Hasan, “Wahai pencoreng wajah orang-orang mu’min!” (Al-Awashim minal Qawashim, Abu Bakar bin Al-Arabi, hal. 197), “Wahai penista bangsa Arab!” (Tarikh At-Thabari, 5: 165)
Al-Hasan menanggapi semua itu dengan berkata, “Aku tidak suka membunuh kalian demi kekuasaan.”
Amul Jama’ah
Mu’awiyah tiba di Kufah dan disambut oleh Al-Hasan dan Al-Husain. Mereka membaiatnya dan kemudian diikuti oleh umat Islam lainnya. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 25 Rabi’ul Awwal 41 H (Selasa, 29 Juli 661 M), disebut dengan Amul Jama’ah.
Bukti Kebenaran Nabi
Sahabat Abu Bakrah mengisahkan, suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang memangku cucunya Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhuma. Sambil memangku cucunya, beliau berbicara kepada kami. Sesekali beliau menghadap kepada kami, dan sesekali beliau mencium cucunya. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، إِنْ يَعِشْ يُصْلِحْ بَيْنَ طَائِفَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Sejatinya cucuku ini adalah seorang pemimpin besar. Dan bila ia berumur panjang, niscaya dia akan mempersatukan/ mendamaikan antara dua kelompok ummat Islam yang sedang bertikai” (HR Ahmad dan lainnya).
Wallahu A’lam