Matan Hadits
عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّادِ بنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ)
Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan (mewajibkan) berbuat ihsan atas segala hal. Maka, jika kalian membunuh (dalam peperangan) maka lakukanlah dengan cara yang baik, jika kalian menyembelih maka lakukanlah sembelihan yang baik, hendaknya setiap kalian menajamkan parangnya, dan membuat senang hewan sembelihannya.” (HR. Muslim)
Makna Hadits Secara Umum
Pertama, hendaknya menjalankan segala sesuatu dengan cara terbaik, dengan makna ‘baik’ yang begitu luas. Melakukan sesuatu dengan cara terbaik adalah perintah syariat, baik secara manthuq (tersurat) atau mafhum (tersirat). Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan baik …” (QS. An Nahl ayat 90)
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الله يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ.
“Sesungguhnya Allah menyukai jika kalian melakukan perbuatan dilakukan secara itqan (sempurna).” (HR. Al Baihaqi)
Kedua, melakukan perbuatan dengan cara terbaik, juga ditekankan dalam perkara dan situasi yang sangat emosional seperti peperangan, yang biasanya manusia cenderung bertindak brutal. Syariat memberikan panduan bahwa bagaimana cara memenangkan peperangan merupakan hal yang sangat penting, yaitu dengan cara terbaik, terhormat, termudah, tercepat agar musuh tidak lama merasakan sakit, tidak menyiksa, mencincang, dan semisalnya.
Makna seperti disebutkan oleh Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, Al-Qurthubi, dan Ibnu Hajar.
Ketiga, melakukan perbuatan dengan cara terbaik juga dilakukan kepada hewan, baik ketika mereka hidup dalam pemeliharaan dan lingkungan kita, atau ketika mereka hendak akan disembelih untuk keperluan hidup manusia.
Makna Kata
إِنَّ اللهَ كَتَبَ : sesungguhnya Allah menetapkan (mewajibkan).
Imam Muhammad bin Abdul Hadi As Sindi dalam Hasyiah ‘Ala Ibni Majah mengatakan: kataba artinya awjaba (mewajibkan). (Lihat Hasyiah ‘Ala Ibni Majah, 6/199. Lihat juga At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 17). Hanya saja para ulama berbeda dalam memahami makna wajib dalam hadits ini.
Imam Ibnu Abdil Hadi As Sindi menambahkan makna ‘wajib’ di sini adalah An Nadbu Al Mu’akkad – sunah yang sangat dianjurkan. (Ibid)
Ath Thayyibi juga mengatakan maknanya adalah mustahab (disukai/sunah). (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/664)
Sedangkan Imam Ibnu ‘Alan menambahkan: awjaba wa qadara – mewajibkan dan menetapkan. (Imam Ibnu ‘Alan, Dalilul Falihin, 5/105, No. 9640)
Para ushuliyyin (ahli ushul) mengatakan bahwa lafaz kataba termasuk lafaz yang membawa kepada makna wajib. Berkata Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh: “Maka, lafaz kataba dan lafaz apa saja yang berasal dari pecahannya, menunjukkan kewajiban, yakni menunjukan bahwa sesuatu yang yang ditulis (Al Maktubah) adalah wajib, diantaranya berbuat Ihsan.” (Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh, Syarhul Arbain An Nawawiyah, hal. 142)
الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ : (berbuat) Al Ihsan atas segala hal.
Imam Ibnu ‘Alan mengatakan tentang Al Ihsan, yakni itqaanul fi’li (perbuatan yang sempurna/profesional). (Dalilul Falihin, 5/105)
Sedangkan secara syara’, makna Al Ihsan telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam hadits Arbain no. 2,
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”
Makna ‘Ala kulli syai’ (atas segala hal) adalah: ‘Ala di sini artinya Ilaa (kepada) atau fii (pada/dalam). (At Tuhfah, syarah No. 17)
Jadi, Allah Ta’ala mewajibkan berbuat Ihsan atas segala hal, dalam segala hal, dan pada segala hal. Syaikh Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan: “Yaitu berbuat baik kepada segala hal, atau “atas” yang artinya adalah pada urusan kamu pada hal apa saja lakukanlah secara ihsan. Maksudnya berlaku secara umum bagi semua manusia, yang hidup dan yang mati.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/664-665)
فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ : Maka, jika kalian membunuh maka lakukanlah dengan cara yang baik.
Yakni jika kalian membunuh baik dalam peperangan, qishash, atau had, lakukanlah dengan cara terbaik, manusiawi, tidak kejam dan bengis, dan tidak mencincang mayit.
Aktifitas membunuh yang dibenarkan ada pada jihad, qishash, dan had. Semuanya diperintahkan dilakukan dengan cara yang terbaik.
Aktifitas membunuh terjadi pada medan jihad ketika memerangi musuh orang kafir yang menyekutukan Allah, dan dalam hal ini telah jelas adab Islam sampai-sampai terhadap orang pasukan kaum kafir musyrik. Jadi, seandainya membunuh di dalam peperangan janganlah mencincang-cincang. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu, Beliau bersabda: “Beperanglah atas berkah dari Allah dan dengan nama Allah, janganlah membunuh anak-anak, wanita, dan jangan mencincang-cincang mayat).” Maka, jika ini merupakan hak orang yang menyekutukan Allah yang memerangi kaum muslimin, bagaimana dengan selainnya?! (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Syarah No. 17. Mawqi’ Syabkah Al Islamiyah)
Ini adalah jika perang menggunakan pedang dan semisalnya. Ada pun zaman ini, ketika peperangan menggunakan senjata api, baik senapan mesin, bom, dan rudal, tidak bisa dikatakan alat pencincang. Sebab masing-masing senjata ada targetnya masing-masing, dan tujuan pembuatan yang tidak sama. Ada granat anti tank, rudal penghancur pesawat, dan semisalnya, semuanya bukan ditujukan manusia. Untuk manusia cukup dengan peluru saja. Oleh karenanya, tidak tepat menghancurkan pesawat hanya dengan pistol, sebagaimana tidak tepat membunuh satu masuh dengan satu rudal.
وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ : jika kalian menyembelih maka lakukanlah sembelihan yang baik, hendaknya setiap kalian menajamkan parangnya, dan membuat senang hewan sembelihannya
Yaitu sembelihan yang tepat caranya, tepat tempatnya, lembut, tidak bengis, tidak membuat trauma hewan lainnya, tidak memanmpakkan parang kepada hewan tersebut, dan hendaknya menyebut nama Allah Ta’ala.
Dalam Islam sembelihan haruslah dibagian tubuh yang secara cepat dapat mematikan yakni yang paling dapat banyak mengeluarkan darah, yaitu kerongkongan.
Berbuat Baik kepada Hewan yang akan Disembelih
Imam Al Munawi Rahimahullah berkata: (yaitu menyembelih) dengan lembut, tidak memotongnya dengan kejam, tidak menyeretnya ketika disembelih dengan kejam pula, lalu menajamkan alatnya, menghadapkan ke kiblat, menyiapkan alatnya, mematikannya, dan meninggalkannya sampai badannya menjadi dingin. (At Taisir bisyarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 1/518)
Alat Penyembelihan
Rafi’ bin Khadij berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَلْقَى الْعَدُوَّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفُرًا وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan berjumpa musuh kami besok, tetapi kami tidak punya pisau (untuk menyembelih).” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa saja darah yang dialirkan dan disebut nama Allah atasnya, maka makanlah, selama bukan dengan gigi atau kuku, aku akan katakan kepada kalian tentang hal itu. Adapun gigi dia adalah tulang, sedangkan kuku adalah pisau bagi orang Habasyah (etiopia).” (HR. Bukhari, No. 2356)
Imam Abu Thayyib Abadi Rahimahullah berkata:
وَالْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَجُوز الذَّبْح بِكُلِّ مُحَدَّد يُنْهِر الدَّم فَيَدْخُل فِيهِ السِّكِّين وَالْحَجَر وَالْخَشَبَة وَالزُّجَاج وَالْقَصَب وَسَائِر الْأَشْيَاء الْمُحَدَّدَة
“Hadits ini merupakan dalil bahwa dibolehkan menyembelih dengan segala benda yang tajam yang bisa mengalirkan darah, termasuk di dalamnya adalah pisau, batu, kayu, kaca, bambu, dan segala sesuatu yang tajam.” (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud, 8/15. Cet.2. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon)
Hadits-hadits tentang Berbuat Baik kepada Hewan
Guna melengkapi pembahasan hadits ini, berikut kami kemukakan beberapa hadits tentang berbuat baik kepada hewan.
Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:
كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَمَرُّوا بِفِتْيَةٍ أَوْ بِنَفَرٍ نَصَبُوا دَجَاجَةً يَرْمُونَهَا فَلَمَّا رَأَوْا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا عَنْهَا وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ مَنْ فَعَلَ هَذَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ مَنْ فَعَلَ هَذَا
Saya sedang bersama Ibnu Umar, lalu lewatlah para pemuda atau sekelompok orang yang menyakiti seekor ayam betina, mereka melemparinya. Ketika hal itu dilihat Ibnu Umar mereka berhamburan. Dan Ibnu Umar berkata: “Siapa yang melakukan ini? Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang melakukan ini.” (HR. Bukhari No. 5515)
Dalam riwayat yang sama, dari Ibnu Umar pula:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَثَّلَ بِالْحَيَوَانِ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang mencincang/membuat cacat hewan.” (HR. Bukhari No. 5515). Yaitu mencincang dan membuat cacat hewan ketika masih hidup. Lalu, apa makna laknat dalam hadits ini? Yaitu diharamkan.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ مَثَّلَ بِذِي رُوحٍ، ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مَثَّلَ اللهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang mencincang sesuatu yang punya ruh, lalu dia tidak bertobat, maka dengannya Allah akan mencincangnya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad No. 5661)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا
“Janganlah kalian menjadikan sesuatu yang memiliki ruh sebagai sasaran.” (HR. Muslim No. 1957)
Sahl bin Al Hanzhaliyah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعِيرٍ قَدْ لَحِقَ ظَهْرُهُ بِبَطْنِهِ فَقَالَ اتَّقُوا اللَّهَ فِي هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَارْكَبُوهَا صَالِحَةً وَكُلُوهَا صَالِحَةً
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati unta yang antara punggung dan perutnya telah bertemu (maksudnya kurus, pen), Beliau bersabda: ‘Takutlah kalian kepada Allah terhadap hewan-hewan yang tidak bisa bicara ini, tunggangilah dengan baik, dan berikan makan dengan baik pula.’” (HR. Abu Daud No. 2548)
Berkata Jabir bin Abdullah Radhlallahu ‘Anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَيْهِ حِمَارٌ قَدْ وُسِمَ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الَّذِي وَسَمَهُ
“Bahwasanya lewat dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seekor Keledai yang diwajahnya diberikan cap (tanda). Maka beliau bersabda: ‘Allah melaknati orang yang membuat cap padanya’.” (HR. Muslim No. 2117)
Wallahu A’lam.