Politisi sayap kanan Israel Naftali Bennet terpilih sebagai perdana menteri baru Israel menggantikan Benjamin Netanyahu yang berkuasa selama dua belas tahun. Gerakan perlawanan Palestina, Hamas mengganggap Israel tak akan berubah banyak di bawah Bennett. Dengan kata lain, Israel akan tetap menjajah Palestina.
“Apapun bentuk dari pemerintahan baru di Israel, hal itu tidak akan mengubah pandangan kami soal entitas Zionis itu,” ujar juru bicara Hamas, Fawzi Barhoum, dikutip dari Al-Jazeera, Senin, 14 Juni 2021.
Karena pandangan Hamas terhadap Israel konsisten, Barhoum mengatakan Hamas juga belum berniat menghentikan serangan ke negeri penjajah itu. Ia berkata, Israel adalah entitas penjajahan dan kolonialisme sehingga hanya bisa dilawan dengan kekuatan demi hak Palestina.
Administrasi Presiden Palestina Mahmoud Abbas memberikan pernyataan senada. Mereka berkata, pandangan Palestina terhadap Israel tidak akan berubah kecuali ada perubahan terkait status Yerusalem. Saat ini, Yerusalem dinyatakan sebagai ibu kota Israel di mana mendapat legitimasi dari mantan Presiden Amerika Donald Trump.
“Apa yang terjadi di Israel adalah urusan internal mereka. Posisi kami tetap jelas. Apa yang kami inginkan adalah negara Palestina di garis batas 1967 dengan Yerusalem menjadi ibu kotanya,” ujar Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Mahmoud Abbas.
Kekuasaan Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri Israel selama 12 tahun berakhir pada Minggu (13/6/2021). Kini Israel akan dipimpin oleh Naftali Bennett, politisi sayap kanan Israel dari partai ultranasionalis, Yamina. Bennett menang dengan suara tipis 60-59 dalam pemilihan di parlemen Israel (Knesset). Sesuai perjanjian pemilu, ia akan menjalankan pemerintahan selama dua tahun ke depan dan memberikan jabatan tersebut kepada pemimpin koalisi pemerintahan baru Yair Lapid.
Bennett merupakan sosok yang keras menentang kemerdekaan Palestina. Ia sangat mendukung perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang dijajah dan Yerusalem timur.Di tahun 2010, ia pernah menjadi kepala Dewan Yesha yang melobi pemukim Yahudi di Tepi Barat. Ia keras mengkritik Netanyahu setelah pemerintah setuju untuk memperlambat pembangunan pemukiman di bawah tekanan dari mantan Presiden AS Barack Obama.
Sebelum masuk ke politik hingga akhirnya menggeser posisi Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett juga lebih dulu aktif di militer. Bennett sempat bertugas di Zona keamanan Israel di Lebanon selama 1982-2000, di tengah konflik Lebanon Selatan. Dia juga ikut serta dalam banyak operasi, termasuk Operasi Grapes of Wrath.
Beberapa tindakan Bennett sebagai komando pasukan khusus, disebut kontroversial dan sembrono, terutama dalam dalam Operasi Grapes of Wrath. Saat itu, ia memerintahkan tembakan artileri setelah unitnya mendapat tembakan mortir. Tapi, tembakan ini menghantam kompleks PBB tempat warga sipil berlindung. Insiden ini lantas dikenal sebagai “Pembantaian Qana”, dengan Bennett sebagai salah satu sosok yang dianggap bertanggungjawab.