Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA.
Pada tulisan sebelumnya dijelaskan, untuk memberikan keputusan atas orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang telah berkhianat pada Perang Ahzab, Nabi saw mengutus seorang sahabatnya Sa’ad bin Muadz. Mengapa perlu Sa’ad bin Muadz yang memberikan kata akhir bagi para pengkhianat itu? Mengapa tidak beliau sendiri?
Memang, Nabi saw memiliki wewenang untuk memutuskan hukuman: bunuh mereka, habis perkara! Suku Aus akan tunduk kepadanya. Namun, Nabi saw mengkhawatirkan hal itu akan berbenturan dengan sentimen sebagian pasukannya dari kalangan Aus. Karenanya, beliau memilih solusi yang paling tepat, “Apakah kalian rela bila perkara ini diputuskan oleh salah seorang dari kalian?” Mereka menjawab, “Kami rela. “Rasulullah saw bersabda, ”Orang itu adalah Sa’ad bin Mu’adz.”
Seorang pemimpin yang bijak akan senantiasa menghindari benturan emosi dengan bawahannya. Ketika keinginan pemimpin berbenturan dengan keinginan bawahan, seorang pemimpin membutuhkan solusi paling menenteramkan dan meringankan bobot benturan itu.
Mereka semua adalah prajurit dan bersama mereka beliau berperang. Mereka adalah rahasia kekuatan dan keberhasilan. Ketika seorang pemimpin mampu memberikan penghargaan kepada bawahannya, itu menyebabkan kedua belah pihak menjadi satu barisan yang semakin solid.
Bahkan, Rasulullah saw pun memperhatikan keinginan masing-masing anggota tentaranya. Dikisahkan, ada seorang Yahudi yang menjadi tanggungan Tsabit bin Qais. Tsabit meminta kepada Nabi saw agar diperkenankan melindungi orang tersebut dan sang Nabi saw pun mengabulkan. Namun, ketika ia mendapatkan pengampunan dari hukuman bunuh dan diserahkan kembali harta, anak-anak, dan istrinya, Yahudi itu berkata, “Aku meminta kepadamu, hai Tsabit, atas perlindunganmu kepadaku agar aku menyusul kaumku itu. Demi Tuhan, tidak ada kebaikan hidup ini tanpa mereka.”[1] Demikianlah akhirnya Yahudi itu dibunuh seperti kaumnya yang lain.
Rasulullah saw juga memperhatikan kehormatan seorang wanita dari kalangan kaum Muslimin saat ia meminta untuk melindungi Rifaah bin Samuel al-Qurazhi. Wanita itu berkata, “Wahai Nabi Allah, bapak dan ibuku menjadi jaminan untukmu, berikan kepadaku unta. “ Beliau pun memberikan kepadanya dan dibiarkannya ia hidup.
Pemimpin brilian tak pernah kehabisan ide untuk memuaskan prajuritnya walaupun kadang strateginya berbeda. Ia tak membatalkan strateginya, tapi mencoba menghadapi keinginan prajuritnya serta berupaya memuaskan mereka dan mengesankan akan pentingnya pendapat
Benar, kewajiban bawahan adalah taat, juga benar bahwa mendengar dan menaati bukan satu-satunya sarana menjalin hubungan antara pemimpin dan bawahan. Namun cinta, kepercayaan, dan kesungguhan merupakan saran utama dalam hubungan antara mereka. Karena itu, Rasulullah saw menegaskan sisi kebaikan para pimpinan dari segi kecintaan. “Pemimpin terbaik bagi kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Adapun seburuk-buruk pemimpin bagi kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknati dan mereka melaknati kalian,” (HR Muslim)
Demikianlah, Nabi saw ingin menjaga perasaan kaumnya yang selama ini bekerja sama dengan Bani Quraizhah. Nabi saw tak ingin menyakiti hati mereka. Selanjutnya, tibalah giliran Sa’ad bin Mu’adz menentukan keputusan. Nabi saw memberikan tugas besar kepadanya. Padahal kala itu ia sedang terluka dan dirawat di tenda Rufaidah. Dengan kewenangannya, sebenarnya Nabi saw bisa menentukan perkaranya tanpa pendapat Sa’ad, tapi ini penghargaan besar dari seorang pemimpin terbesar umat ini. Beliau tidak memutuskan perkara sekutu-sekutunya selain dengan kehadirannya, bahkan beliau menyarankan semua pihak untuk menghormati penglima ini, “Berdirilah untuk pemimpin kalian!” Lalu berdirilah mereka.
Tibalah giliran Sa’ad. Rasulullah saw merasa tenang dan percaya. Beliau juga mengetahui kadar cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta jauhnya dari fanatisme dan ambisi pribadi. Betapa beliau menegaskan hal itu kepada kaumnya, “Telah datang masanya bagi Sa’ad untuk tidak mempedulikan cercaan orang dalam mengambil keputusan karena Allah.”
Sa’ad memang memiliki dendam terhadap Yahudi Bani Quraizhah ketika ia diutus Nabi saw untuk menjajagi apakah mereka berkhianat atau tidak. Saat itu mereka menyampaikan cacian kepadanya. Ia hanya mengingatkan kepada mereka akan janji kepada Rasulullah saw dan mereka pun melecehkannya. Ketika ia melihat ada kecurangan dari salah seorang di antara mereka, ia hanya memunajat panjang kepada Rabbnya seraya berkata, “… Janganlah Engkau mematikan aku hingga Engkau memuaskan dari perkara Bani Quraizhah.”
Kini, urusan mereka semua menjadi wewenangnya. Pertama-tama ia mengambil perjanjian kepada kaumnya untuk menerima apa pun keputusannya, kemudian juga kepada Muhajirin. Setelah itu ia memutuskan: membunuh orang Yahudi itu semua karena kecurangan dan pengkhianatan mereka!
Orang yang memahami tujuan perang berikut dampaknya, sejatinya adalah para pemimpin yang hidup dan menghayati suasana perang itu sendiri. Dengan cara itulah menentukan orientasi Sa’ad. Ia benar-benar memerankan orientasi Rasulullah saw secara sempurna. Semua itu karena pengetahuannya yang begitu detil terhadap rahasia semua persoalan saat suku Aus hanya mengenali sisi kemuliaan dan persamaan mereka dengan Khazraj.
Peristiwa ini mengajak kita untuk mengatakan bahwa kewajiban qiyadah tertinggi adalah memberikan kepercayaan kepada qiyadah menengah yang menjadi jembatan penghubung dengan para prajurit sekaligus sebagai pelaksananya. Ketika Qiyadah tertinggi tak mampu melaksanakan hal ini terhadap qiyadah menengah, mereka takkan bisa mendapatkan hati para prajuritnya. Lalu, terbukalah jurang pemisah antara keduanya. Barisan akan tercerai-berai. Bahkan, mereka akan menginduk kepada qiyadah menengah ini dan akan menjadi jalan terjal dan sulit bagi qiyadah tertinggi untuk merealisasikan rencana-rencananya.
Adapun Yahudi, tahukah Anda siapakah Yahudi itu? Mereka sendiri yang menggiring diri kepada kematian. Mereka bertanya kepada pemimpinnya, Ka’ab bin Asad, dan dijawab, “Mengapa kalian tidak berpikir di setiap tempat? Tidakkah kalian melihat penyeru tidak berhenti? Dan Tuhan, itu adalah pembunuhan!”
Dengan pandangannya tajam, ia mengetahui nasib yang menakutkan ini. Ia telah memberi nasihat kepada mereka akan nasib buruk ini, tapi mereka tidak mencerna nasihat ini kecuali setelah esok paginya. Inilah mereka, kaum laki-laki mereka disembelih, istri-istri mereka ditawan, dan harta mereka dibagi-bagi.
Selanjutnya, datanglah pemimpin segala kecurangan dan pengkhianatan, Huyay bin Akhthab untuk memerankan karakter asli bangsa Yahudi pada setiap generasi sebagaimana yang diturunkan al-Qur’anul Karim, “…. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu(pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan lalu kamu angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS al-Baqarah: 87).
Sejak semula, Huyay bin Akhthab telah mengetahui nasib yang akan menimpanya. Padahal, ia mengetahui Muhammad berada pada pihak yang benar. Itulah arogansi jahiliyah sebenarnya! Itulah yang menyamakannya dengan Abu Jahal. Abu Jahal menolak beriman agar tak diungguli oleh Bani Abdu Manaf. Huyay menolak untuk beriman agar tidak diungguli oleh Bani Ismail, anak cucu Hajar yang dianggapnya budak itu. Inilah dendam yang begitu pekat, konspirasi buta, dan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Tak cukup hanya itu. Ia berkata, “Demi Tuhan, aku tidak menyalahkan diriku karena memusuhimu!” Ia menyadari bahwa ia memerangi Allah, Dia akan menghinanya. Sama seperti kata-kata Abu Jahal, “Katakanlah kepadaku, siapakah yang menjadi pemenang?” Jawabannya, kemenangan itu hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. “Allah telah memelihara apa yang membuat kamu terhina.”
Ia pernah berkata, “Apakah aku harus membantu orang yang kalian perangi?”
Ia seorang pemimpin kaum dan pemimpin lembah Arab yang ketika terbunuh, melihat kehinaan dirinya dan tidak melupakan kehormatannya, juga tidak melupakan dendamnya. Mungkin Fir’aun ‘lebih baik’ darinya. Ketika tenggelam, Fir’aun sempat mengatakan, “Aku sekarang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Bani Israel.”
Kini, watak Yahudi ini kembali memenuhi cakrawala dan muncul pada beribu-ribu kejadian. Seorang munafik pernah berdiri di Syam pada perang bulan Juni 1967. Ia menyampaikan pidato di atas mimbar masjid Jami’ Umawi dan pidatonya itu disiarkan melalui radio. Orang munafik itu melecehkan hadits Rasulullah saw yang berbunyi, “Kiamat tidak akan datang hingga orang-orang Arab membunuh orang-orang Yahudi, hingga batu dan pohon berkata, ‘Hai orang Arab, hai hamba Allah, di belakangku ada orang Yahudi. Kemari dan bunuhlah dia. ‘ Kecuali pohon Gharqad karena ia termasuk pohon Yahudi.”
Pada hari kedua, radio Israel itu menyiarkan koreksi atas hadits yang disampaikan sang munafik ini dan menyebutkan riwayat yang benar, “Kiamat tidak akan datang hingga orang-orang Islam membunuh orang-orang Yahudi, hingga batu dan pohon berkata, ‘Hai orang Islam, hai hamba Allah, di belakangku ada orang Yahudi. Kemari dan bunuhlah ia. ‘ Kecuali pohon gharqad, karena ia termasuk pohon Yahudi,” (HR Muslim).
Yang menarik perhatian, orang-orang Yahudi itu mengetahui nasib mengenaskan yang akan menimpa mereka. Mereka juga mengetahui kemenangan itu milik orang-orang Islam. Namun, mereka juga yakin bahwa kini mereka sedang memerangi orang-orang Arab yang tidak memiliki aqidah dan Islam. Kini, mereka sedang tentram damai menikmati kemenangan atas jerih payah dan strategi yang mereka rencanakan. Ketika mereka memerangi kaum Muslimin dan mengatakan sebagaimana yang dikatakan pemimpin mereka, Huyay, “Tidak mengapa dengan keputusan Allah; ketentuan, takdir, dan pembantaian yang telah digariskan Allah bagi Bani Israel.”
Sekarang, kondisinya sebagaimana firman Allah, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kalian hingga kalian mengikuti agama mereka…..”(QS al-Baqarah: 120).
Sekarang, mereka merasa tentram karena perang yang sesungguhnya belum dimulai. Mereka akan berada dalam perang sengit jika sedang berhadapan dengan kaum Muslimin sejati. Kini, orang-orang Arab sedang memproklamasikan dan meminta perdamaian dengan Yahudi. Dulu, bangsa Yahudi berakhir dengan Perang Bani Quraizhah dan insya Allah akan berakhir pula di bumi Palestina, negeri penuh berkah. Allah telah berjanji akan memberikan kemenangan kepada tentara-tentara kaum mukminin dan senjata serta harta kekayaan mereka menjadi ghanimah bagi kaum mukminin.
Tentang akhir perang Bani Quraizhah ini al-Muqrizi berkata, “Mereka mengumpulkan seluruh harta benda dan apa saja yang ditemukan di dalam benteng itu, senjata, perabot rumah tangga, dan pakaian. Ternyata semuanya berjumlah 1500 pedang, 300 baju besi, 1000 tombak, 1500 tameng, beberapa perabot rumah, bejana yang sangat banyak, khamr dan benda-benda memabukkan lainnya yang semuanya ditumpahkan dan tidak dibagi lima. Juga terdapat beberapa unta dewasa dan ternak lainnya. Semuanya dikumpulkan untuk dibagi.[2]
Rasulullah saw tidak cukup hanya bertindak demikian. Wanita-wanita tawanan Bani Quraizhah itu ditukar dengan kuda dan senjata dari Najed. Peperangan itu menjadi kekuatan besar bagi kaum Muslimin serta kemenangan yang menghancurkan Yahudi serta pemberangusan eksistensi mereka di Madinah setelah enam tahun hidup dalam kegaulan. Inilah yang dikatakan Salam bin Muksyim, pemimpin Bani Nadhir setelah Huyay bin Akhthab, yang tinggal di Khaibar dan bersama sisa-sisa Yahudi mendengar berita tentang kematian Bani Quraizhah akibat tebasan pedang, “Semua ini karena ulah Huyay bin Akhthab. Yahudi tidak akan tinggal di Hijaz untuk selama-lamanya.”[3]
Inilah hukum yang paling adil, bukan karena rasa amanah kepada seseorang atau penghinaan kepada manusia. Rasulullah saw sangat mewanti-wanti agar bukan emosi dan dendam yang mengendalikan segala tindakan ini.
Dikisahkan, seseorang menarik Nibasy bin Qais yang sengaja dibawa untuk dibunuh. Sebelumnya ia dipukul hidungnya hingga mengeluarkan darah. Rasulullah saw berkata kepada orang yang membawanya, “Mengapa kamu lakukan ini? Tidak cukupkah dengan pedang?”
Beliau melanjutkan, “Berlaku baiklah ketika mengikat mereka. Berilah kesempatan tidur dan berilah minum. Jangan kalian gabungkan antara panasnya matahari dan panasnya neraka bagi mereka!”
Hari itu memang bertepatan dengan musim panas. Kaum Muslimin memberikan kesempatan untuk tidur, memberi mereka minum dan makan. Ketika hari sudah dingin, Rasulullah membunuh sisa-sisa orang Yahudi itu.[4]
Itulah keagungan Nabi saw yang sangat menghormati kemanusiaan manusia, walaupun kepada seorang Yahudi. Adapun pada hari ini, di balik jeruji penjara, orang-orang yang disebut kaum Muslimin itu menderita berbagai jenis tragedi dan berbagai model penyiksaan, kelaparan, penghinaan, yang karena dahsyatnya membuat anak-anak menjadi berubah. Hal itu merupakan bentuk penghinaan terhadap kehormatan manusia, juga bermacam-macam jenis siksa yang binatang pun tidak melakukannya sebagaimana dikatakan Sayyid Quthb, “Binatang buas makan sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tapi mereka (musuh Islam) menikmati penyiksaan itu.”
Hanyalah Islam yang menghormati manusia dengan kemanusiaannya dan menghukum secara setimpal, tanpa diiringi dengan nafsu dan dendam kesumat hingga melahirkan tindakan melebihi batas.
Pada akhir episode itu, kita melihat respons positif dari suku Aus terhadap keputusan pemimpin mereka, Sa’ad, setelah dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw., “Kamu telah menentukan keputusan dengan hukum Allah dari atas tujuh langit.”
Mereka pun berlomba-lomba merealisasikan keputusan itu. Selanjutnya, datanglah Usaid bin Hudhair, pemimpin kedua bagi suku Aus, dan berkata, “Ya Rasulullah, tak ada satu keluarga pun dari suku Aus kecuali akan aku beri tugas.“ Ia lalu membagi orang Yahudi itu dan kaum Muslimin membunuh mereka.
Keputusan ini memberikan pelajaran kepada kita tentang kebebasan qiyadah menghadapi musuh sesuai kondisi perang tanpa belenggu yang menghalangi gerakan qiyadah. Hingga akhirnya, Allah memberikan kemenangan nyata bagi kaum Muslimin dari musuh-musuh mereka. “Kalian memerangi mereka atau mereka menyerah.”
Masih tersisa satu pertanyaan lagi, Yahudi Bani Quraizhah memang bersalah. Mereka berkhianat. Tapi apakah mereka harus dibunuh sebagai hukumannya?
Catatan Kaki
[1]Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah halaman 253-254
[2] Al-Muqrizi, Imtaul Asma, I/240
[3] Ibid, I/253
[4] Al-Muqirizi, Imtaul Asma 1/248
1 comment
aslkm. pingin materi tentang khalifah setelah khlifaturrasyidin,,seperti khalifah abbasiyah, muawiyah, buaihi, fatimah dll