عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البِيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari Abu Abdurrahman –Abdullah bin Umar bin Al Khathab radhiallahu ‘anhuma, dia berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Islam dibangun atas lima hal; Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.”
Takhrij Hadits:
- Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 8, 4243.
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 16, tetapi dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa haji adalah rukun Islam yang terakhir. Berikut ini teksnya:
فقال رجل: الحج وصيام رمضان؟ قال: لا. صيام رمضان والحج. هكذا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Seorang laki-laki bertanya: “Haji dan puasa Ramadhan?” Abdullah bin Umar menjawab: “Tidak, puasa Ramadhan dan Haji. Seperti itulah yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. ”
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 158, 1446
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubranya No. 1561, 7680
- Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 308 (juga mendahulukan puasa, lalu haji)
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 6015, 6301, 19220, 19226
Makna hadits Secara Global:
Pertama, mengenalkan rukun-rukun Islam sebagaimana telah disebutkan pada hadits kedua. Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id:
وهذا الحديث أصل عظيم في معرفة الدين وعليه اعتماده فإنه قد جمع أركانه.
“Hadits ini merupakan dasar yang agung dalam mengetahui agama, dan di atasnyalah ia disandarkan, karena hadits ini telah mengumpulkan rukun-rukun agama.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Al Maktabah Al Misykah)
Kedua, menunjukkan betapa pentingnya kelima hal ini dan merupakan kewajiban setiap muslim. Bukan kewajiban kifayah. Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari rahimahullah:
أن هذه الفروض الخمسة من فروض الأعيان ، لا تسقط بإقامة البعض عن الباقين .
“Sesungguhnya lima kewajiban ini termasuk fardhu ‘ain (kewajiban per kepala), yang tidaklah gugur kewajiban itu walau telah dikerjakan oleh sebagian lainnya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, pembahasan hadits no. 3. Al Maktabah Al Misykah)
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa orang yang mengingkari salah satu kewajiban di atas, apalagi semuanya, maka dia kafir dan murtad. Namun mereka tidak sepakat dalam hal orang yang meninggalkannya, namun masih mengakui kewajibannya; kafir atau tidak? Sebagian ada yang mengkafirkan, sebagian lain menganggapnya sebagai pelaku dosa besar, dan dihukumi fasiq, dan ada juga yang menghukumi kufrun duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran).
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah mengatakan:
الإمام أحمد وكثير من علماء أهل الحديث يرى تكفير تارك الصلاة .
وحكاه إسحاق بن راهويه إجماعا منهم حتى إنه جعل قول من قال : لا يكفر بترك هذه الأركان مع الإقرار بها من أقوال المرجئة . وكذلك قال سفيان بن عيينه : المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه . وروي عن عطاء ونافع مولى ابن عمر أنهما سئلا عمن قال : الصلاة فريضة ولا أصلي ، فقالا : هو كافر . وكذا قال الإمام أحمد .
“Imam Ahmad dan kebanyakan ulama ahli hadits berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Ishaq bin Rahawaih menceritakan adanya ijma’ di antara mereka (ahli hadits), sampai-sampai dijadikan sebuah ungkapan barangsiapa yang mengatakan bahwa tidak kafirnya orang yang meninggalkan rukun-rukun ini dan orang itu masih mengakui rukun-rukun tersebut, maka ini adalah termasuk perkataan murji’ah. Demikian juga perkataan Sufyan bin ‘Uyainah: ‘Orang murji’ah menamakan meninggalkan kewajiban adalah sebagai dosa dengan posisi yang sama dengan orang yang menjalankan keharaman.’ Keduanya tidaklah sama, sebab menjalankan keharaman dengan tanpa sikap ‘menghalalkan’ merupakan maksiat, dan meninggalkan kewajiban-kewajiban bukan karena kebodohan dan tanpa ‘udzur, maka dia kufur. Penjelasan hal ini adalah dalam perkara Adam dan Iblis, dan ulama Yahudi yang mengakui diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan mereka tidak mengamalkan syariat-syariatnya. Diriwayatkan dari Atha’ dan Nafi’ pelayan Ibnu Umar, bahwa mereka berdua ditanya tentang orang yang mengatakan: Shalat adalah wajib tetapi saya tidak shalat.” Mereka berdua menjawab: Dia kafir. Ini juga pendapat Imam Ahmad.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Ketiga, pada hadits ini terdapat dalil bahwa dibolehkan menyebut bulan Ramadhan tanpa menyebut Syahr (bulan). Yakni langsung menyebut Ramadhan. Sebagian ulama ada yang melarang menyebut Ramadhan saja, menurut mereka harus disertakan pula Syahr (bulan) di depannya; menjadi Syahr Ramadhan (bulan Ramadhan). Tetapi, hadits ini – juga hadits no. 2- telah menyanggah dengan telak pendapat-pendapat mereka.
Keempat, dimana posisi jihad? Bukankah dia sangat penting dalam Islam? Kenapa tidak termasuk lima rukun Islam? Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi memberikan jawaban yang bagus sebagai berikut:
يعني أن هذه الخمس أساس دين الإسلام وقواعده التي عليها بني وبها يقوم وإنما خص هذه بالذكر ولم يذكر معها الجهاد مع أنه يظهر الدين ويقمع عناد الكافرين لأن هذه الخمس فرض دائم والجهاد من فروض الكفايات وقد يسقط في بعض الأوقات.
“Yakni, sesungguhnya lima hal ini merupakan asas agama Islam, dan kaidah-kaidahnya dibangun di atasnya, dan dengannya pula ia ditegakkan. Sesungguhnya dikhususkannya penyebutan ini dan tanpa menyebutkan jihad -padahal jihadlah yang membuat agama menjadi menang dan sebagai penumpas pembangkangan orang kafir- lantaran lima hal ini merupakan kewajiban yang konstan (terus menerus), sedangkan jihad termasuk kewajiban kifayah yang bisa gugur kewajibannya pada waktu-waktu yang lain.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 35)
Makna Kalimat:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ : dari Abu Abdurrahman (ayahnya Abdurrahman). Ini adalah nama kun-yah dari Abdullah bin Umar bin Al khathab. Beliau juga sering disebut Ibnu Umar, anak Umar bin Al Khathab.
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: : Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhuma berkata.
Abdullah bin Umar termasuk kalangan shigharush shahabah (sahabat junior) dalam jajaran para sahabat nabi. Dikenal sebagai orang yang sangat ketat keteguhannya terhadap syariat. Imam Adz Dzahabi rahimahullah menceritakan tentang beliau sebagai berikut: “Dia masuk Islam saat masih kecil dan ikut hijrah bersama ayahnya saat belum baligh. Pada perang Uhud dia masih kecil, perang pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq. Dia termasuk yang ikut berbai’at di bawah pohon, bersama ibunya, Ummul Mu’minin Hafshah, Zainab binti Mazh’un saudara wanita Utsman bin Mazh’un Al Jumahi.
Beliau banyak meriwayatkan ilmu yang bermanfaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Bilal, Shuhaib, Amir bin Rabi’ah, Zaid bin Tsabit, Zaid adalah pamannya, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Utsman bin Thalhah, Hafshah (saudara perempuannya), Asalam, ‘Aisyah, dan yang lainnya. (Siyar A’lam An Nubala, 3/204. Cet. 9, 1413H -1993M. Muasasah Ar Risalah)
Disebutkan radhiallahu ‘anhuma (semoga Allah meridhai keduanya), maksudnya adalah dirinya dan ayahnya (Umar bin Al Khathab). Selain beliau, sahabat nabi yang lainnya seperti Abdullah bin Abbas juga mendapat sebutan radhiallahu ‘anhuma (semoga Allah meridhai keduanya) yakni dirinya dan ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, juga An Nu’man bin Basyir, dan lainnya.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah:
قال العلماء: إذا كان الصحابي وأبوه مسلمين فقل: رضي الله عنهما، وإذا كان الصحابي مسلماً وأبوه كافراً فقل: رضي الله عنه .
“Para ulama mengatakan: jika seorang sahabat nabi dan ayahnya adalah muslim, maka katakan radhiallahu ‘anhuma, dan jika seorang sahabat nabi sorang muslim sedangkan ayahnya kafir, maka katakanlah radhiallahu ‘anhu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 84. Mawqi’ Ruh Al Islam)
سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Ucapannya ‘Aku mendengar’ menunjukkan bahwa dia mendengar langsung hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ada perantara.
بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : Islam dibangun atas lima hal
بُنِيَ – Buniya bermakna أُسِّسَ – ussisa (didasarkan/dipondasikan).
Allah Ta’ala berfirman:
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ
“Sesungguhnya masjid yang dibangun atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah, 9: 108)
Siapakah yang membangun? Yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya saja Fa’il (pelaku/subjek)-nya disamarkan dengan bentuk kata buniya (dibangun), sehingga menjadi kalimat pasif. Hal ini sama dengan ayat:
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa, 94: 28)
Ayat ini menghilangkan subjeknya, yakni Allah Ta’ala, sebagai pencipta manusia. Sedangkan, الإِسْلامُ – Al Islam di sini adalah Dinul Islam (agama Islam) yang dibangun oleh Allah Ta’ala dan dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan Al Islam dalam artian bahasa saja, seperti tunduk, patuh, pasrah, dan damai. Sebab, ada sebagian cendikiawan nyeleneh menyelewengkan makna Al Islam . Menurutnya Al Islam, bukanlah agama Islam, tetapi bermakna: kepasrahan kepada Tuhan. Sehingga, -menurutnya- siapa saja yang pasrah kepada Tuhan, maka dia Islam, walau aslinya dia Nasrani, Yahudi, Majusi, Hindu, Budha, dan lainnya. Mereka Islam karena mereka sudah pasrah kepada Tuhan yang mereka yakini masing-masing!
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran, 3: 19)
Ayat ini dipertegas lagi oleh ayat lainnya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran, 3: 85)
Tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:
أي: من سلك طريقًا سوى ما شَرَعَه الله فلن يُقْبل منه
“Yaitu: barangsiapa yang menempuh jalan selain apa yang Allah Ta’ala syariatkan (Yakni Islam) maka selamanya tidak akan diterima.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/70. Dar Nasyr wat Tauzi’)
Islam adalah agama seluruh para nabi dan rasul. Ajakan dan ajaran pokok (aqidah) mereka sama, yang berbeda hanyalah rincian syariatnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An Nahl, 16: 36)
Ayat lainnya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya, 21: 25)
Dalam hadits pun juga disebutkan demikian. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
والأنبياء أخوة لعلات، أمهاتهم شتى ودينهم واحد
“Para Nabi adalah bersaudara, dari satu bapak, ibu-ibu mereka berbeda, dan agama mereka sama.” (HR. Bukhari No. 3259, Muslim No. 2365, Ibnu Hibban No. 6194)
عَلَى خَمْسٍ – ‘Ala Khamsin artinya atas lima hal. Sebagian riwayat menuliskan ‘ala khamsatin. Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan keduanya benar. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Maktabah Al Misykah)
شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ : kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah
Dua kalimat syahadat adalah fondasi keislaman dan keimanan. Imam Bukhari dalam Shahihnya memasukkan hadits ini dalam Kitabul Iman. Ini menunjukkan bahwa menurutnya Islam dan Iman adalah sama. (Lihat Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9)
Sedangkan umumnya Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, dan iman lebih tinggi kedudukannya dibanding Islam. Hal ini berdasarkan firmanNya:
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah Islam (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat, 49: 14)
Inilah pandangan yang lebih benar bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, di mana Islam lebih umum di banding Iman, dan Iman lebih umum di banding Ihsan. Dalilnya adalah ayat di atas (QS. Al Hujurat, 49: 14) dan hadits Jibril ‘alaihis salam yang menjelaskan Islam, Iman, dan Ihsan secara berlainan.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
وقد استفيد من هذه الآية الكريمة: أن الإيمان أخص من الإسلام كما هو مذهب أهل السنة والجماعة، ويدل عليه حديث جبريل، عليه السلام، حين سأل عن الإسلام، ثم عن الإيمان، ثم عن الإحسان، فترقى من الأعم إلى الأخص، ثم للأخص منه.
“Dari ayat yang mulia ini telah diambil faidah: bahwa Iman lebih khusus dibanding Islam sebagaimana pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menunjukkan hal itu adalah hadits Jibril ‘Alaihissalam ketika dia bertanya tentang Islam, kemudian Iman, kemudian Ihsan. Maka, terjadi peningkatan dari yang umum ke yang lebih khusus, kemudian yang lebih khusus darinya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/389. Dar Nasyr wat Tauzi’)
شَهَادَة – Syahadah bermakna kesaksian. Juga bermakna ِ الإِقْرَار – Ikrar, juga اليَمِيْن – sumpah.
Syahadah –dalam berbagai konteks yang berbeda- juga bermakna, mati syahid, ijazah, bukti, kalimat syahadat, dan surat keterangan. Namun dalam konteks ini, syahadah adalah kesaksian, ikrar, dan sumpah bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Selanjutnya:
وَإِقَامِ الصَّلاة : dan mendirikan shalat
Shalat Apa Yang Dimaksud?
Yaitu menjalankan shalat fardhu yang lima waktu; subuh, zhuhur, asar, maghrib, dan isya. Ada pun Imam Abu Hanifah menambahkan menjadi enam yakni witir. Tetapi, dia sendirian dalam pendapatnya ini. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في هذا.
“Apa yang menjadi pendapat Abu Hanifah bahwa witir adalah wajib merupakan pendapat yang lemah. Berkata Imam Ibnul Mundzir: ‘Aku tidak mengetahui seorang pun yang setuju dengan Abu Hanifah dalam hal ini.’” (Fiqhus Sunnah, 1/192. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Makna Shalat
Secara bahasa (etimologis- lughah), shalat bermakna do’a. Allah Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah, 9: 103)
Makna shalli ‘alaihim bukanlah shalatlah untuk mereka, melainkan mendoakan orang yang membayar zakat.
Secara istilah syariat (terminologis), shalat bermakna:
الصلاة عبادة تتضمن أقوالا وأفعالا مخصوصة، مفتتحة بتكبير الله تعالى، مختتمة بالتسليم.
“Shalat adalah ibadah yang mengandung di dalamnya ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam.” (Fiqhus Sunnah, 1/90)
Maka, dikatakan shalat jika seseorang memenuhi rukun dan syarat sahnya shalat.
Kapan Diwajibkan?
Para nabi dan rasul beserta umatnya, sebelum Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam juga disyariatkan shalat, hal ini diceritakan Al-Quran dalam berbagai ayatnya. Begitu pula pada masa risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, shalat juga tetap disyariatkan. Bahkan sebenarnya, sebelum peistiwa Isra Mi’raj, Rasulullah dan para sahabat juga sudah melakukan shalat hanya saja tidak sama dengan shalat yang lima waktu.
Barulah pada peristiwa Isra Mi’raj, shalat lima waktu diwajibkan. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
فُرِضَتْ عَلَى النّبِيّ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَلوَاتُ خَمْسِينَ، ثُمّ نُقِصَتْ حَتّى جُعِلَتْ خَمْساً، ثُمّ نُودِيَ: يا محمدُ: إِنّهُ لاَ يُبَدّلُ الْقَوْلُ لَدَيّ وَإِنّ لَكِ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسينَ .
“Telah difardhukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan, ‘Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat.’” (HR. At Tirmidzi No. 213, katanya: hasan shahih gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 213)
Maka, sudah ketahui secara pasti bahwa shalat lima waktu diwajibkan pada malam Isra Mi’raj. Tetapi kapankah Isra Mi’raj? Betulkah 27 Rajab tahun ke 5 sebelum hijriah? Jawabnya: Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Ibid Hal. 95).
Beliau (Imam Ibnu Rajab) juga berkata:
و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره
“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.
Bagaimanakah Kedudukannya Dalam Islam?
Shalat menduduki posisi tersendiri dalam Islam, dia diwajibkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di langit, sedangkan kewajiban lainnya ketika beliau di dunia. Shalat adalah tiangnya agama, maka dengan melaksanakannya maka agama seseorang menjadi tegak.
Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رأس الامر الاسلام، وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد في سبيل الله
“Pokoknya urusan adalah Islam dan tiang-tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. At Tirmidzi No. 2616, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2616)
Shalat juga ibadah yang pertama kali akan dihitung pada hari akhirat nanti. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله صلاته، فإن صلحت فقد أفلح وأنجح، وإن فسدت فقد خاب وخسر
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihitung dari amal seorang hamba pada hari kiamat nanti adalah shalatnya. Jika shalatnya baik maka dia telah beruntung dan selamat, dan jika buruk maka dia akan rugi dan malang.” (HR. At Tirmidzi No. 411, katanya: hasan gharib, An Nasa’i No. 465. Syaikh Al Albani telah menshahihkan dalam berbagai kitabnya)
Kecaman bagi Orang-Orang yang Meninggalkan Shalat
Sungguh malang orang yang mengaku muslim tapi tidak shalat. Pengakuan kosong yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Berikut ini berbagai kecaman untuk mereka yang sengaja meninggalkan shalat.
Allah Ta’ala telah mengecam mereka dalam berbagai ayatNya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam, 19: 59)
Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar. Allah Ta’ala berfirman:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43)
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” mereka menjawab: “Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al Muddatsir, 74: 42-43)
Mereka mengalami kesulitan sakaratul maut. Allah Ta’ala berfirman:
كَلا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30) فَلا صَدَّقَ وَلا صَلَّى (31) وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (32) ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى (33) أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (34) ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (35)
“Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”, dan Dia yakin bahwa Sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.” (QS. Al Qiyamah, 75: 26 – 35)
Mereka juga diancam dengan neraka Wail (kecelakaan). Allah Ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Ma’un, 107: 4-5)
Kecaman Dalam Al Hadits
Dalam berbagai hadits shahih, orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No. 82, At Tirmidzi No. 2752, Ibnu Majah No. 1078, Ad Darimi No. 1233, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf 7/222/43, Ibnu Hibban No. 1453, Musnad Ahmad No. 15183, tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dll)
Dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At Tirmidzi No. 2621, katanya: hasan shahih gharib, An Nasa’i No. 463, Ibnu Majah No. 1079, Ibnu Hibban No. 1454, Sunan Ad Daruquthni, Bab At Tasydid fi Tarkish Shalah No. 2, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 6291, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/222/45, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 11, katanya: “isnadnya shahih dan kami tidak mengetahui adanya cacat pada jalur dari berbagai jalur. Semuanya telah berhujjah dengan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Muslim telah berhujjah dengan Al Husein bin Waqid, Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya dengan lafaz ini. Hadits ini memiliki penguat yang shahih sesuai syarat mereka berdua.” Ahmad No. 22937, Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat). Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya)
Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة من النار يوم القيامة ومن لم يحافظ عليها لم تكن له نورا ولا نجاة ولا برهانا وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف
“Barangsiapa yang menjaga shalatnya maka baginya cahaya, bukti, dan keselamatan dari neraka pada hari kiamat. Barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak memiliki cahaya dan tidak selamat (dari api neraka), dan tidak memiliki bukti, serta pada hari kiamat nanti dia akan hidup bersama Qarun, Fir’aun, Hamman, dan Ubai bin Khalaf.” (HR. Ad Darimi No. 2721, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 578. Syaikh Sayyiq Sabiq mengatakan sanadnya jayyid (baik), Fiqhus Sunnah, 1/93. Dar Al Kitab Al ‘Arabi. Ahmad No. 6576, kata pentahqiqnya: sanadnya hasan)
Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:
وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر
Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.”
Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)
Dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar, maka telah terhapus amalnya.” (HR. Bukhari No. 528, An Nasa’i No. 474, Ibnu Hibban No. 1470, Ahmad No. 22959, Ibnu Khuzaimah No. 336)
Sementara dalam hadits lain, bahwa orang yang meninggalkan shalat boleh dihukum mati (tentu setelah keputusan mahkamah syariah). Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان
“Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal (untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tapi Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam Dhaiful Jami’ No. 3696)
Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
“Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat.” (HR. At Tirmidzi No. 2757, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2622)
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:
وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ.
“Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.” (Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiallahu ‘anhuma, mengatakan:
ومن ترك الصلاة فلا دين له.
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5/508. Darul Fikr)
Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata:
لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا
“Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.” Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)
Imam Al Mundziri rahimahullah menyebutkan:
وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر
“Demikian pula, dahulu pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa ‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)
Wallahu A’lam
(Bersambung)