Tinjauan Umum Terhadap QS. Al-Mumtahanah ayat 7-9
Tiga ayat ini merupakan kaidah penting bagaimana berinteraksi dengan non muslim, dan memberikan arahan, agar wala’ dan bara’ tidak difahami sebagai sikap permusuhan total terhadap non muslim.
Penjelasan Ringkas
Ayat 7:
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini menyatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman bahwa mudah-mudahan Allah SWT akan menjalin rasa cinta dan kasih sayang antara kaum muslimin yang ada di Madinah dengan orang-orang musyrik Mekah yang selama ini membenci dan menjadi musuh mereka. Hal itu mudah bagi Allah, sebagai Zat Yang Maha Kuasa lagi menentukan segala sesuatu.
Menurut Al-Hasan dan Abu Saleh ayat ini diturunkan berhubungan dengan Khuza’ah, Bani Haris bin Kaab, Kinanah, Khuzaimah dan kabilah-kabilah Arab yang lain, mereka minta diadakan perdamaian dengan kaum muslimin dengan mengemukakan ikrar tidak akan memerangi kaum muslimin dan tidak menolong musuh-musuh mereka. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan kaum muslimin menerimanya.
Ayat 8:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan hantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang hendak mengusir itu.
Ayat ini merupakan ayat yang memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang non Islam dalam satu negara. Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orang-orang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin.
Ada yang berpendapat bahwa QS. Al-Mumtahanah ayat 8 ini mansukh (telah dihapus hukumnya), yang konsekwensinya adalah seorang muslim harus bara’ secara total kepada non muslim. Namun berkenaan pendapat ini At-Thabari berkata: “Tidak perlu diperhatikan pendapat mereka yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya), karena kebaikan seorang mu’min kepada kafir harbi sekalipun baik yang punya hubungan kerabat atau nasab maupun yang tidak ada hubungan sama sekali tidaklah dilarang oleh syariat dengan syarat kebaikan ini tidak mengandung bahaya menyingkap kelemahan kaum muslimin atau memperkuat posisi kafir harbi dengan makanan atau senjata. (Lihat: Tafsir At-Thabari pada ayat 8 Surat Al-Mutahanah).
Prinsip Al-Bara’ Tidak Menghalangi Rasulullah dari Bekerja Sama dengan Orang-orang Kafir dalam Kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengikuti Hilful Fudhul (Perjanjian Kebajikan) sebelum beliau menjadi Nabi bersama tokoh Quraisy yang isinya: saling berjanji untuk melindungi dan membela siapapun yang datang ke Mekkah dalam keadaan teraniaya.
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنّ لِي بِهِ حُمْرَ النّعَمِ وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الْإِسْلَامِ لَأَجَبْتُ
“Aku telah menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an yg lebih kucintai dari unta merah. Seandainya aku diundang lagi di masa Islam, pasti akan kusambut.” (Sirah Ibnu Hisyam)
Dalam perjanjian Hudaibiyah, Khuza’ah beraliansi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan Banu Bakr beraliansi kepada Quraisy, kedua-duanya musyrikin.
Beliau juga pernah meminta perlindungan (jiwar) kepada Al-Muth’im bin ‘Adi (tokoh Quraisy) saat hendak masuk ke Makkah (sepulang dari Thaif). Bahkan beliau mengenang jasa Al-Muth’im bin Adi saat usai perang Badar dengan sabdanya:
لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا، ثُمّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى، لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ.
“Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti akan kuserahkan urusan mereka ini kepadanya.” (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri)
Ayat 9:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah Ta’ala hanyalah melarang kaum muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia di jalan Allah, dan memurtadkan kaum muslimin sehingga ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir dan membantu pengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu Allah Ta’ala melarang dengan sangat kaum muslimin berteman dengan mereka.
Pada akhir ayat ini Allah Ta’ala mengancam kaum muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman bertolong-tolongan dengan mereka, jika mereka melanggar larangan Allah ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.
Catatan Penting
Kaidah hubungan dengan non muslim yang disebutkan di atas merupakan asas syariat Islam dalam hubungan internasional. Kaidah ini menjadikan kondisi hubungan kaum muslimin dengan seluruh manusia tetap stabil.
Hal itu tidak akan berubah sama sekali, melainkan bila terjadi permusuhan atau penyerangan terhadap kaum muslimin yang harus dilawan dan ditentang. Atau, karena kekhawatiran adanya pengkhianatan setelah ditandatanganinya perjanjian damai, yaitu berupa ancaman penyerangan atau mengancam kebebasan berdakwah dan kebebasan berkeyakinan. Itu merupakan bentuk lain dari permusuhan.
Selain kondisi itu semua, kaidah yang ditetapkan adalah perdamaian, kasih sayang, berbakti, dan berbuat adil terhadap seluruh manusia.
Perlu dipahami, pertentangan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir adalah dalam kaidah aqidah semata-mata. Islam menetapkan bahwa nilai yang harus dijunjung oleh setiap mukmin dan harus dibela mati-matian dengan berperang sekalipun adalah dalam perkara aqidah.
Dengan demikian, antara orang-orang yang beriman dengan seluruh manusia tidak ada permusuhan dan peperangan selama kebebasan dakwah dan kebebasan berkeyakinan tetap dihormati. Selanjutnya ditegakkanlah manhaj Allah di muka bumi ini dan kalimat Allah pun ditinggikan.