Matan Hadits:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : َ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: ) الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّاركُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ للجمَاعَةِ (رواه البخاري ومسلم.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak halal darah seseorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku sebagai utusan Allah, kecuali disebabkan salah satu di antara tiga hal: ats tsayyib az zaaniy (orang yang sudah nikah/janda/duda yang berzina), jiwa dengan jiwa (membunuh), orang yang meninggalkan agamanya dia memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Takhrij Hadits:
- Imam Al Bukhari dalam Shahihnya No. 6878
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1676
- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4352
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 1402
- Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 4016
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2534
- Imam Ad Daruquthni dalam As Sunannya No. 3134
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 4407
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 3621
- Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 5202
- Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 1539
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 5331, dan As Sunanul Kubra No. 194, 202, 213
- Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah 60, 893
- Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 14/270
- Imam ‘Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 18704
- Imam Al Humaidy dalam Musnadnya No. 119
- Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar, 3/160-161, juga Syarh Musykilul Aatsar, 2/321
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 2517
- Imam Abu ‘Uwanah dalam Al Mustakhraj 4984 sampai 4989
Makna Hadits secara Global:
Pertama, hadits ini mengajarkan bahwa seorang yang sudah menjadi muslim telah terpelihara dan terjaga darahnya, yakni nyawanya. Mereka menjadi terhormat karena keislamannya. Telah menjadi ijma’ bahwa haram hukumnya seorang muslim dibunuh tanpa hak, bahkan jika sengaja melakukannya, termasuk pelaku dosa besar dengan ancaman neraka, bahkan kekal di dalamnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. An Nisa (4): 93)
Dari beberapa sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر
“Mencela seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kufur.” (HR. Bukhari No. 48,5687, 6665, Muslim No. 116, At Tirmidzi No. 2771, 2772, Ibnu Majah No. 3939, 3940. Ahmad No. 3647, Ibnu Hibban No. 5939, Al Khathib dalam At Tarikh, 13/158, dari jalur Yahya. Ath Thayalisi No. 248, Abu ‘Awanah, 1/24. Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar, 1/365, Ibnu Mandah No. 654, 655, dan lain-lain)
Kedua, ada tiga sebab –menurut hadits di atas- seseorang muslim boleh diperangi (baca: dibunuh). Maka, jika tiga sebab ini terjadi, walau hanya salah satunya maka dia berhak ditumpahkan darahnya. Namun, hal tersebut mesti dilakukan setelah mendapat vonis dari mahkamah syariah secara meyakinkan dan yang mengeksekusi adalah negara. Seorang individu sangat tidak dibenarkan main hakim sendiri.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari hadits yang kita bahas ini:
ثم إذا وقع شيء من هذه الثلاث، فليس لأحد من آحاد الرعية أن يقتله، وإنما ذلك إلى الإمام أو نائبه
Kemudian jika terjadi sesuatu dari tiga hal ini, maka bukanlah seseorang dari rakyat yang membunuhnya, sesungguhnya hal itu adalah tugas imam atau wakilnya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/373)
Ketiga hal tersebut adalah:
- Seorang yang sudah nikah, atau janda, atau duda, yang berzina.
- Seorang yang membunuh manusia lain secara tidak hak.
- Orang yang meninggalkan agama dan jamaahnya (murtad).
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah menjelaskan:
إلا بإحدى ثلاث : خصال يجب على الإمام القتل بها لما فيه من المصلحة العامة ،وهي حفظ النفوس والأنساب والدين .
“kecuali disebabkan salah satu di antara tiga hal : yaitu perbuatan yang dengannya membuat imam (pemimpin) wajib memeranginya karena di dalamnya terkandung kemaslahatan umum, yakni menjaga jiwa, menjaga nasab, dan agama.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 14)
Sebenarnya ada sebab lain selain tiga di atas, seseorang boleh diperangi sebagai mana tertera dalam beberapa hadits, ketetapan para fuqaha, dan kenyataan pelaksanaan syariah pada masa awal Islam, yakni setelah adanya keputusan Negara dan dieksekusi pula oleh Negara. Hal-hal tersebut seperti menolak zakat, meninggalkan shalat wajib (menurut Ahmad dan Asy Syafi’i), memperolok-olok Allah, RasulNya, dan Al Quran, bahkan sebagian tabi’in juga memasukkan para pencela sahabat nabi sebagai kelompok yang boleh diperangi, para pengaku nabi baru, pelaku liwath (homo seks), muslim yang memata-matai kaum muslimin sendiri, dan lain-lain.
Ketiga, hadits ini menegaskan kembali ketinggian nilai seorang muslim. Oleh karenanya, setiap muslim mesti memperhatikan perilakunya terhadap saudaranya. Jangan sampai menyakitinya, baik perasaan, fisik, dan hartanya, baik dilakukan lisan, tulisan, dan tangan. Semuanya adalah perbuatan terlarang secara pasti.
Keempat, secara tersirat (mafhum mukhalafah) menunjukkan bahwa orang kafir (non muslim) tidaklah terjaga darahnya, kecuali jika mereka termasuk kafir mu’aahad, kafir dzimmi, dan kafir musta’man.
Kafir Mu’aahad adalah:
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ ، وَيُسَمَّى الْهُدْنَةَ وَالْمُهَادَنَةَ وَالْمُعَاهَدَةَ وَالْمُسَالَمَةَ وَالْمُوَادَعَةَ
Mereka adalah orang-orang yang berdamai dengan imam kaum muslimin untuk tidak berperang dalam waktu yang telah diketahui (disepakati) untuk kemasalahatan. Al Mu’ahad diambil dari kata Al ‘Ahdu (janji) yaitu shulhu (perjanjian damai) yang telah ditentukan, dan dinamakan hudnah (gencatan senjata), juga dinamakan Al Muhaadanah, Al Mu’aahadah (agreement), Al Musaalamah (perdamaian), dan Al Muwaada’ah. (Fathul Qadir, 4/293. Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181. Al Kharasyi, 3/175. Fathul ‘Ali, 1/333. Asy Syarhul Ad Dardir, 2/190. Al Qawaanin Al Fiqhiyah, Hal. 154. Mughni Al Muhtaj, 4/260. Al Umm, 4/110. Nihayah Al Muhtaj, 7/235, Kasysyaf Al Qina’, 3/103. Al Mughni, 4/459-461. Zaadul Ma’ad, 2/76. Al Muharrar fil Fiqhil Hambaliy, 2/182. Al Ikhtiyarat, Hal. 188)
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin juga mengatakan:
والمعاهد: من كان بيننا وبينه عهد، كما جرى بين النبي صلى الله عليه وسلم وقريش في الحديبية.
Al Mu’ahad adalah siapa saja yang antara kita dan dia ada perjanjian, sebagaimana yang berlangsung antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum Quraisy di Hudaibiyah. (Syaikh Al ‘Utsaimin, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 159. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Kafir dzimmi atau ahli dzimmah adalah:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ الإِْسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِْسْلاَمِ فِيهِمْ
Ahlu Az Dzimmah adalah orang-orang kafir yang menetapkan kekafirannya di Negara Islam dengan menjalankan kewajiban membayar jizyah dan dilaksanakannya syariat Islam pada mereka. (Jawahirul Iklil, 1/105. Kasysyaf Al Qina’, 1/704)
Kafir Musta’man adalah:
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَْصْل : الطَّالِبُ لِلأَْمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
Al Musta’man pada dasarnya: orang yang meminta keamanan, yaitu orang kafir yang masuk ke Negara Islam dengan aman, atau seorang muslim jika masuk ke nagara kafir dengan aman. (Durar Al Hikam, 1/262. Hasyiah Abi Su’ud, 3/440. Ad Durul Mukhtar, 3/247)
Nah, ketiga kelompok kuffar inilah yang terlindungi darahnya, selama status mereka belum berubah. Kapankah status mereka berubah? Para ulama mengatakan:
يُصْبِحُ الذِّمِّيُّ وَالْمُعَاهَدُ وَالْمُسْتَأْمَنُ فِي حُكْمِ الْحَرْبِيِّ بِاللَّحَاقِ بِاخْتِيَارِهِ بِدَارِ الْحَرْبِ مُقِيمًا فِيهَا ، أَوْ إِذَا نَقَضَ عَهْدَ ذِمَّتِهِ فَيَحِل دَمُهُ وَمَالُهُ
Kafir Dzimmi, Mu’aahad, dan Musta’man akan dihukumi menjadi kafir harbi , saat dia memiliih bermukim di Negara perang (darul harbi), atau jika dia membatalkan perjanjiannya maka halal darah dan hartanya.(Ad Durul Mukhtar, 3/275, 303. Asy Syarhush Shagir, 2/316. Mughni Al Muhtaj, 258-262. Al Mughni, 8/458)[1]
Makna Kata dan Kalimat
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu dia berkata
Tentang biografi Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, sudah kami jelaskan secara ringkas di syarah hadits yang ke empat. Silahkan merujuk.
Lalu:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ : Tidak halal darah seseorang muslim
Yakni haram darah seorang muslim untuk ditumpahkan (dibunuh). Hal ini sesuai hadits:
إِنَّ دِمَاءَكَمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاَضَكُمْ عَليْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian (untuk diganggu).” (HR. Bukhari No. 105 dan Muslim no. 1679)
Para ulama memaknainya “tidak halal darah seseorang muslim” sebagai keharaman membunuh seorang muslim. Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:
“لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ” أي لا يحل قتله،وفسّرناها بذلك لأن هذا هو المعروف في اللغة العربية
“Tidak halal darah seseorang muslim” yaitu tidal halal membunuhnya, kami menafsirkannya demikian karena itu sudah dikenal (ma’ruf) dalam bahasa Arab. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 158)
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan pula:
لا يحل دم امريء : لا تجوز إراقة دمه . والمراد النهي عن قتله ولو لم يرق دمه .
Tidak halal darah seseorang artinya tidak boleh menumpahkan darahnya. Maksudnya adalah larangan membunuhnya, walaupun darahnya tidak tumpah. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits ke 14)
Muslim di sini adalah siapa saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat secara sadar dan ridha. Maka, mereka terjaga jiwanya dan kita pun dilarang menyakitinya.
Selanjutnya:
إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: kecuali karena satu di antara tiga hal
Yakni jika salah satunya terjadi, atau dua, apalagi semuanya, maka mereka boleh ditumpahkan darahnya karena tiga keadaan tersebut.
Syaikh Muhammad bin Ismail Al Anshari menjelaskan kenapa tiga hal ini jika dilakukan, maka pelakunya wajib dibunuh:
خصال يجب على الإمام القتل بها لما فيه من المصلحة العامة ،وهي حفظ النفوس والأنساب والدين
“Perbuatan yang dengannya wajib bagi imam untuk membunuh/memeranginya, karena di dalamnya terdapat maslahat yang luas, yaitu penjagaan terhadap jiwa, nasab, dan agama. (At Tuhfah, Syarah No. 14)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:
وهؤلاء الثلاثة مباحو الدم بالنص
“Dan ketiga hal ini merupakan alasan kemubahan ditumpahkannya darah berdasarkan nash.”
Beliau juga mengatakan:
ويكون المراد: لا يحل تعمد قتله قصداً إلا في هؤلاء الثلاثة والله أعلم
Jadi maksudnya: tidak halal menyengaja bermaksud untuk membunuh kecuali tiga hal ini. Wallahu A’lam. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 65. Maktabah Misykah)
Selanjutnya:
الثَّيِّبُ الزَّانِيْ : orang yang sudah menikah, atau janda, atau duda yang berzina
Yaitu zina muhshan. Dan telah disepakati (ijma’) bahwa pelakunya mesti di rajam sampai wafat.
Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan:
الثيب هنا : هو المحصن . وهو اسم جنس يدخل فيه الذكر والأنثى . وهو حجَّة على ما اتفق المسلمون عليه من أن حكم الزاني المحصن الرَّجم .
Ats Tsayyib di sini adalah Al Muhshan. Itu adalah nama jenis yang termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan. Ini adalah hujjah atas apa-apa yang telah disepakati kaum muslimin, di antara hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah rajam. (Al Mufhim, 15/119)
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah:
وقوله : (الثيب الزانى) إشارة إلى ما أجمع عليه المسلمون من الرجم
Sabdanya (orang yang sudah menikah, atau janda, atau duda yang berzina) mengisyaratkan kepada apa-apa yang telah disepakati kaum muslimin berupa rajam. (Ikmal Al Mu’allim, 5/247. Lihat juga Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 66)
Ada pun untuk gadis atau perjaka yang berzina (ghairu muhshan) juga telah ijma’ bahwa mereka didera/cambuk seratus kali.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
اتفق الفقهاء على أن البكر الحر إذا زنا فإنه يجلد مائة جلدة، سواء في ذلك الرجال والنساء، لقول الله سبحانه في سورة النور : ” الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة، ولا تأخذكم بهما رأفة في دين الله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر، وليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين “
Para fuqaha telah sepakat bahwa gadis merdeka, jika dia berzina maka dia dihukum jilid (cambuk/dera) seratus kali, sama saja baik laki-laki dan perempuan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An Nuur (24): 2) (Fiqhus Sunnah, 2/406)
Inilah hukum-hukum Allah Ta’ala yang terkait dengan pelaku zina. Segenap umat Islam wajib mentaatinya, dan wajib dijalankan oleh pemimpin kaum muslimin, namun sayang hukum-hukum ini hanya berserekan dalam kitab-kitab para ulama, tanpa ada negeri muslim yang menjalankannya.
Lalu:
وَالنَّفْسُ بِالنَّفْس: dan jiwa dengan jiwa
Yaitu sesorang yang membunuh orang lain, maka pelakunya mesti dihukum mati. Itu pun setelah mendapatkan vonis dari mahkamah syariah yang membuktikannya, dan dieksekusi oleh Negara. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al Baqarah (2): 178)
Berkata Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah:
“وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ” المقصود به القصاص، أي أنه إذا قتل إنسانٌ إنساناً عمداً قُتِلَ به بالشروط المعروفة
“Jiwa dengan jiwa” maksudnya adalah qishash, yaitu seseorang manusia membunuh manusia secara sengaja maka dia juga dibunuh dengan syarat-syarat yang sudah diketahui. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 158)
Namun jika pembunuhan terjadi secara tidak sengaja, maka tidaklah diqishash. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). (QS. An Nisa (4): 92)
Tetapi, si pembunuh tidak sengaja ini juga harus melaksanakan kafaratnya sebagaimana pada kelanjutan ayat ini, yaitu:
- Memerdekakan seorang budak yang beriman, dan memberikan diyat (ganti rugi) kepada keluarga si mayat, kecuali jika keluarganya membebaskannya dan menganggap sedekah buat si pembunuh.
- jika yang dibunuh adalah kafir dzimmi maka diyat tersebut diberikan kepada keluarganya, dan juga membebaskan seorang budak yang mukmin.
- Jika membebaskan budak dan membayar diyat tidak mampu, maka mesti berpuasa dua bulan berturut-turut.
Di sini kita memahami, bahwa kafir dzimmi tidak boleh dibunuh, jika dibunuh secara tidak sengaja maka pelakunya wajib melakukan kifarat seperti tersebut di atas.
Selanjutnya:
وَالتَّاركُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ للجمَاعَةِ dan orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang memisahkan diri dari jamaah
Yaitu orang yang murtad. Dan, murtad merupakan kriminalitas tertinggi sehingga pelakunya dibunuh.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
فَهُوَ عَامّ فِي كُلّ مُرْتَدّ عَنْ الْإِسْلَام بِأَيِّ رِدَّة كَانَتْ ، فَيَجِب قَتْله إِنْ لَمْ يَرْجِع إِلَى الْإِسْلَام ، قَالَ الْعُلَمَاء : وَيَتَنَاوَل أَيْضًا كُلّ خَارِج عَنْ الْجَمَاعَة بِبِدْعَةٍ أَوْ بَغْي أَوْ غَيْرهمَا ، وَكَذَا الْخَوَارِج . وَاللَّهُ أَعْلَم .
Ini adalah secara umum, pada setiap orang yang murtad dari Islam dalam keadaan apa pun dia, maka wajib membunuhnya jika dia tidak kembali kepada Islam. Ulama mengatakan: ini juga berlaku untuk semua yang keluar dari jamaah (kaum muslimin) berupa melakukan bid’ah, berontak, atau selain keduanya, begitu juga kaum khawarij. Wallahu A’lam (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/87. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Al ‘Allamah Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan juga:
“وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ” يعني بذلك المرتدّ بأي نوع من أنواع الرّدة. وقوله: “المُفَارِقُ للجَمَاعَةِ” هذا عطف بيان، يعني أن التارك لدينه مفارق للجماعة خارج عنها.
“Meninggalkan agamanya” yakni dengan itu dia murtad dengan segala macam bentuk riddah (kemurtadan). Sabdanya “memisahkan diri dari jamaah” , ini merupakan sambungan penjelasannya, yakni bahwa orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang memisahkan diri dari jamaah, dia keluar darinya. (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 158)
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Masih ada dua golongan lagi, yaitu Kafir Harbi dan Ahlul Bughah (pemberontak).
Kafir Harbi atau Ahlul Harbi adalah:
هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
Mereka adalah non muslim yang tidak termasuk dalam perjanjian dzimmah (jaminan keamanan) dan tidak memanfaatkan keamanan kaum muslimin dan tidak pula adanya perjanjian dengan mereka. (Fathul Qadir, 4/278, 284. Al Fatawa Al Hindiyah, 2/174. Al Mawahib Al Jalil, 3/346-350. Asy Syarhu Ash Shagir, 2/267. Nihayatul Muhtaj, 7/191. Mughni Al Muhtaj, 4/209. Mathaalib Ulin Nuha, 2/508. Kasysyaf Al Qina’, 3/28. Al Mughni, 8/352)
Ahlul Bughah atau Ahlul Baghyi adalah:
هُمْ فِرْقَةٌ خَرَجَتْ عَلَى إِمَامِ الْمُسْلِمِينَ لِمَنْعِ حَقٍّ ، أَوْ لِخَلْعِهِ ، وَهُمْ أَهْل مَنَعَةٍ
Mereka adalah kelompok yang keluar (memberontak) kepada imam kaum muslimin dalam rangka menolak kebenaran, atau melepaskannya, dan mereka adalah ahlu mana’ah (orang yang menolak). (Mawahib Al Jalil, 6/276. Asy Syarh Al Kabir, 4/300. Asy Syarh Ash Shaghir, 4/426. Al Qawanin Al Fiqhiyah, Hal. 363. Al Umm, 4/214. Mughni Al Muhtaj, 4/123. Al Mughni, 8/104)